Page 53 - IMagz Ed. 01
P. 53

Surut ke beberapa kurun waktu yang lampau, sahabat   Dik, lantas posisi kita di mana saat ini?
            dari Jakarta mengirim SMS kepada saya panjang lebar,   Apakah seperti lagu “Kulihat Ibu Pertiwi” di atas?
            yaitu: “PASURUAN, AMBON, POSO, ACEH, SAMPIT,        Membiarkan ibu Pertiwi berurai air mata, bersusah
            PAPUA”. Entah tugas apa yang harus kita pikul       hati, harta kekayaannya bukan milik kita? Itukah wujud
            dengan ikhlas ketika kenyataan tampil memilukan,    kita pada Ibu kedamaian? Itukah rasa Ibu kedamaian?
            padahal  kita tak mungkin  berkata  bahwa; kaki-kaki   Lalu kedamaian itu seperti apa dan buat siapa?
            yang  menginjak-injak  itu  bukan  salah  satu  dari  kaki   Ah, rasanya kita semakin dirajah oleh suguhan retorika
            kita. Rupanya, kerja nyata untuk mengurangi kepiluan   yang menyejukan hati namun semuanya itu samar dan
            harus segera kita kerjakan, sekecil apapun. Ini jika   semu. ***
            tidak ingin terus menumpuk dosa yang nampak jauh
            namun sesungguhnya dekat dari urat nadi leher kita.   Penulis  adalah  Ketua  I  Regu  Pengurus  dan  Ketua
            Wk.”                                                Bidang Pengamatan Regu Pengamat Forum Film
                                                                Bandung.
            Entah kedamaian apalagi yang ditawarkan oleh
            seseorang yang meng-atasnamakan syariah agama.
            Sehingga  darah  manusia  lagi  yang  dikorbankan
            dalam pencarian kedamaian nisbi tersebut. Kadang
            kita terjebak dengan pola kedamaian ‘kekinian’ yang
            telah banyak menggeser nilai-nilai yang selama ini kita
            anut, semuanya terseret dalam gelombang globalisasi
            kedamaian nisbi tersebut. Lantas kita pun bertanya;
            Kedamaian apalagi yang akan kita raih saat ini, Dik...?!

            Ah, rasanya kita semakin hari selalu dituntut dan
            waspada untuk menjaga ‘kedamaian’ ini dalam diri
            kita masing-masing. Seperti para Pandawa Lima
            menyepi ke hutan untuk menggali kembali kedamaian
            mereka, kesucian mereka, agar tidak campur baur
            dengan kedamaian nisbi. Ada ilustrasi yang sangat
            menarik, yaitu tetangga saya; ia mempunyai 5
            orang anak dan semuanya telah menikah, ia telah
            ditinggal  suaminya meninggal lebih dulu,  ia hidup
            bersama pembantunya, sementara anak-anaknya
            sudah mempunyai rumah masing-masing. Suatu hari
            mereka berkumpul di rumah orang tuanya itu; liburan
            long week-end. Semuanya berkumpul, anak, cucu,
            dan para menantu; gembira ria suasana tersebut,
            mencerminkan kedamaian dan kebahagiaan saat kita
            melihatnya dari luar dinding mereka. Namun, ketika
            seluruh anaknya, cucunya dan menantunya pulang ke
            rumah masing-masing, maka rumah itu kembali sepi,
            lalu ibu tua itu kembali bersama pembantunya; sendiri.
            Masuk ke kamar tidurnya yang sunyi, merengkuh sepi
            yang hakiki saat itu.












                                                                                                     RELUNG   53
   48   49   50   51   52   53   54   55   56   57   58